Saturday, July 15, 2017

Beberapa Alasan Saat Menentukan Kampus Tujuan di Jepang

Menentukan kampus tujuan untuk studi di Jepang (mungkin) bisa dibilang merupakan hal yang sederhana. Tapi hal ini justru bisa jadi faktor pendukung yang bermanfaat untuk keberlangsungan proses belajar di Jepang. Hal ini bisa dijabarkan dalam berbagai macam faktor dan itu tergantung dari kondisi dan preferensi mahasiswa yang bersangkutan. Bagi saya sendiri, ada beberapa alasan yang menjadi pertimbangan saya saat menentukan kampus tujuan studi di Jepang. Kali ini saya akan cerita beberapa alasan tersebut hasil dari pengamatan saya dan dari diskusi dengan beberapa teman yang studi disini.

An iconic building of The University of Tokyo

1. Reputasi kampus
Siapa yang nggak kepengen untuk studi di salah satu kampus terbaik di Asia? Beberapa universitas di Jepang memang sudah jadi langganan untuk masuk ke dalam jajaran universitas yang punya reputasi membanggakan di Asia dan di dunia. Sebut saja University of Tokyo, Kyoto University, Tohoku University, atau Nagoya University yang hampir selalu berada di puncak daftar kampus favorit. Kampus-kampus ini juga menjadi tempat lahirnya para penerima Nobel Prize dari Jepang. Jadi wajar saja kalau ada kebanggaan tersendiri bisa merasakan suasana belajar yang sama dengan para penerima Nobel terdahulu. Nah di Jepang sendiri, reputasi kampus ini katanya juga cukup mempengaruhi proses pencarian kerja di perusahaan-perusahaan ternama; jadi paradigma kalau lulusan dari universitas terbaik biasanya punya potensi dan kemampuan yang baik di dunia kerja itu masih ada. Oleh karena itu, perusahaan-perusahaan ini akan lebih memberikan prioritas kepada para lulusan tersebut. Begitu sih katanya. Nanti saya coba ceritakan lebih detail tentang poin ini kalau ada kesempatan ketemu narasumber yang bisa dipercaya untuk saya tulis di blog ini. **kebanyakan janji nulis, padahal mah sibuk haha**

2. Professor dan Laboratorium
Poin ini bisa dibilang merupakan alasan yang paling dominan untuk mempengaruhi proses penentuan kampus tujuan studi. Sangat sering ditemukan bahwa beberapa kampus punya laboratorium riset unggulan di bidangnya dan reputasi professornya sangat diacungi jempol di bidang tersebut. Selain itu, ada kalanya laboratorium riset yang ada di Universitas-A sangat sesuai dengan topik penelitian kita, tetapi laboratorium yang serupa tidak ada di Universitas-B. Bagi saya pribadi, saya sangat setuju bahwa kesesuaian topik penelitian dengan laboratorium dan bidang keahlihan professor ini jauh lebih penting daripada sekedar menentukan dengan dasar reputasi kampus saja. Tentu saja jelas akan lebih baik lagi kalau bisa memenuhi kedua faktor tersebut. **haha ini gimana sih**

Kalau kita melihat lebih jauh lagi, penting juga ternyata untuk bisa mendapatkan informasi tentang seluk beluk calon professor kita baik reputasi akademisnya maupun personality-nya. Ini gunanya apa? Secara akademis sudah tentu agar ilmu yang kita dapatkan datang dari pembimbing yang sangat berpengalaman (tapi saya akui professor-professor disini keren semua). Namun, dengan mengetahui personality professor tersebut (biasanya hasil dari rekomendasi seseorang) bisa jadi faktor pendukung yang bikin kita nyaman berada di lab. Pasti nggak mau kan kalau udah jauh-jauh nyampe di Jepang tapi cuma jadi mahasiswa budak penghasil tulisan ilmiah saja? Tentu kita mengharapkan relasi yang lebih baik dari ini yaitu untuk bisa menambah networking guna di masa yang akan datang. Dan menurut saya, hal ini salah satunya bisa dibangun dengan menentukan langkah awal yang benar yaitu bertemu dengan professor yang super baik. Dengan catatan tentu saja kita juga memberikan performa yang terbaik selama belajar dari beliau.  

3. Biaya Hidup
Setelah dua alasan yang sangat terkait di atas, saya akan menceritakan alasan yang cukup menjadi pertimbangan banyak orang, terutama bagi yang akan membawa keluarga ke Jepang. Seperti yang kita ketahui, biaya hidup di Jepang sangatlah tinggi, dan akan berasa lebih tinggi lagi jika menghabiskan hari-hari di kota-kota besar seperti Tokyo, Osaka, dan Nagoya. Untuk hidup di kota-kota tersebut biasanya seseorang mahasiswa akan menghabiskan sangat banyak pengeluaran tiap bulannya. Bandingkan saja, harga sewa apato di Tokyo dengan di Tsukuba selama sebulan sekitar 2:1 untuk ukuran apato single (1 kamar, 1 kamar mandi dan 1 mini kitchen). Nah, untuk apato family pasti lebih mahal lagi. Kebayang kan mumetnya ngatur keuangan kalau bawa keluarga dengan hanya mengandalkan uang beasiswa yang semestinya hanya digunakan untuk memenuhi kebutuhan 1 orang? Harga sewa apato ini memang punya perbedaan yang sangat signifikan antara satu wilayah dengan wilayah lainnya, sementara untuk kebutuhan belanja harian, transportasi, dan rekreasi bisa dikatakan cukup berimbang. Ya asal jangan sering-sering banget juga jalan-jalannya. Soalnya kalau sudah gaya hidup yang berbicara, berapapun uangnya pasti nggak cukup ya. Inilah kenapa, beberapa orang lebih memilih untuk bersekolah di kampus-kampus yang berlokasi agak di pinggiran kota (red: pedesaan) untuk bisa menekan biaya hidup dan bisa hidup "normal" tanpa harus terlalu sering migrain karena mikirin tagihan bulanan. **Oh, my adult life** 

4. Preferensi Kota
Poin berikut ini masih punya korelasinya yang cukup erat dengan poin sebelumnya. Namun hal ini bentuknya lebih ke preferensi pribadi saja. Bagi saya, saya lebih menyukai kota yang tidak terlalu ramai dengan hiruk pikuk, tetapi kalau bisa tidak terlalu jauh dari pusat kota. Mungkin itu juga yang menjadi salah satu pertimbangan saya memilih studi di Tsukuba yang secara lokasi tidak begitu jauh dari Tokyo dan mempunyai lingkungan yang cukup tenang. Di Tsukuba dan di kebanyakan pedesaan kota-kota lain yang serupa, lokasi di sekitarnya bisa ditempuh dengan bersepeda. Sementara untuk kota besar seperti Tokyo, perjalanan ke kampus sepertinya cukup menantang karena mesti ngerasain rush hour di Tokyo yang kondisi stasiun dan gerbong keretanya 11:12 dengan kondisi KRL Jabodetabek kalo jam berangkat ngantor. Padat. Banget.
Bagi orang lain, mungkin lebih prefer untuk kuliah di kota besar dengan segala macam hal-hal modern di kota tersebut. Lebih keren jadi bagian dari warga metropolitan katanya. Ketersediaan sarana dan prasarana serta banyaknya pilihan tempat yang bisa dikunjungi mungkin menjadi salah satu faktor penyebab yang membuat seseorang ingin tinggal dan belajar di kota tersebut. Jadi kalau menurut temen-temen kota yang bagaimana yang lebih baik untuk belajar selama di Jepang?

5. Beasiswa
Bagi mahasiswa seperti saya yang kayanya kalo tanpa beasiswa mungkin nggak bakal bisa mencicipi rasanya kuliah di luar negeri, beasiswa yang ditawarkan bisa mempengaruhi pilihan tempat untuk melanjutkan studi. Sebagai contoh, beberapa kampus disini menawarkan beasiswa dari pendonor lokal yang hanya bisa diterima jika calon mahasiswa mendaftar ke salah satu program studi di kampus tersebut. Jadi bisa dikatakan kalau penentuan kampus sudah menjadi bagian dari program beasiswa tersebut. 
***
Begitulah uraian singkat saya tentang alasan yang mempengaruhi pemilihan kampus tujian untuk melanjutkan studi di Jepang. Saya sendiri melihat pengalaman yang lalu, keputusan memilih kampus secara dominan dipengaruhi oleh poin (2) dan (4). Namun, saat penentuan akhir setelah saya menerima tiga letter of acceptance dari tiga professor di kampus berbeda, saya pada akhirnya mempertimbangkan reputasi kampus dari ketiga kampus tersebut sehingga saya memutuskan pilihan untuk belajar di University of Tsukuba. 

Semoga tulisan ini bermanfaat dan bisa cukup membantu teman-teman untuk mendapatkan gambaran dalam menentukan kampus pilihan di Jepang. Salam dari Tsukuba. Cheers!

Friday, July 14, 2017

Catatan Kuliah Master di Jepang - Tahun Pertama

Babak baru dalam hidup saya di Jepang dimulai ketika saya baru saja kembali ke Jepang sekembalinya saya dari Indonesia untuk menghabiskan waktu liburan musim semi. Tanggal 4 April 2016, saya resmi diterima sebagai mahasiswa master tahun pertama di University of Tsukuba. Hari itu merupakan hari penyambutan mahasiswa baru yang diadakan oleh universitas. Satu hal yang paling berkesan selama acara penyambutan mahasiswa di kampus saya adalah Kelompok Musik Orkestra-nya kampus. Dan, bagi semua siswa/mahasiswa baru di Jepang, awal dimulainya pembelajaran ditemani dengan mekarnya bunga sakura yang menghiasi sepanjang jalan dan taman-taman di Jepang.

Kuliah tingkat master di Jepang mewajibakan seorang mahasiswa untuk menjadi bagian dari salah satu laboratorium di tempatnya kuliah. Begitu juga saya, saya tergabung di laboratorium NLP, Grad. School of Systems and Information Engineering. Jadi dari awal sekali, saya akan bekerja dan belajar di lab ini (red: ngelab). Mungkin sedikit berbeda dengan kuliah master di Indonesia dimana mahasiswa tingkat master baru mulai bersentuhan dengan aktivitas lab pada tahun terakhir kuliah. Di tahun pertama ini saya bisa menuntaskan semua credit dan mata kuliah saya, bahkan di tengah tahun pertama saya sudah menuntaskan 70% dari semua kelas yang saya ambil. **standing ovation**

Kampus University of Tsukuba saat musim panas

Perkuliahan
Minggu pertama menyandang status sebagai mahasiswa Master disibukkan dengan pengambilan credit kuliah dengan mempertimbangkan course apa saja yang akan diambil selama satu tahun pertama. Saya berdiskusi dengan sensei (red: professor) saya untuk hal ini karena beliau sepertinya sudah punya rencana sendiri untuk mahasiswa bimbingannya tentang mata kuliah apa yang cukup related dengan lab, tugas-tugasnya relatif mudah, atau pilihan mata kuliah yang nggak ada ujiannya sama sekali (red: ini jadi favorite saya). Saya cukup terbantu dengan rekomendasi mata kuliah pilihan sensei saya, jadi sayang nggak perlu repot-repot milih yang sesuai dengan bidang saya. Meski akhirnya saya mumet juga karena masalah lain.

Sebenarnya, hal yang cukup membuat saya mumet adalah ketidak-tersediaannya mata kuliah berbahasa inggris yang bisa memenuhi credit kelulusan saya. Bingung kan? Iya bingung banget ini. Saya akhirnya nanya-nanya ke temen di jurusan lain yang masih ada kaitannya dengan ilmu komputer. Saya pada akhirnya ambil 2 mata kuliah dari jurusan lain yang ada di graduate school yang sama dengan jurusan saya. Yokatta. Di Jepang (atau di negara-negara lainnya) diperbolehkan untuk mengambil mata kuliah dari jurusan lain, saya kurang tau kalau di Indonesia gimana. Mungkin ada yang bisa menceritakan pengalamannya?

Dari yang saya amati, perkuliahan di Jepang itu pada dasarnya disajikan dalam bentuk; pertama seminar, dan kedua general course yang senseinya menjelaskan dan kita mahasiswanya tidur memperhatikan dengan seksama. Bentuk pertama ini juga terbagi dalam bentuk lainnya, ada yang dengan mengundang pemateri dari para peneliti di perusahaan-perusahaan, lab riset terkemuka, dan ada yang materinya disajikan oleh mahasiswa di jurusan. Nanti saya akan tulis lebih rinci berdasarkan  mata kuliah yang saya ambil. Sementara bentuk general course, senseinya biasanya mengajar dengan ilmu-ilmu dan topik terkini, tidak yang bergantung dengan buku banget, saya sangat mengagumi cara sensei di Jepang yang mengajarkan dengan topik kuliah yang merupakan hasil penelitiannya sendiri.

Nah, saya baru menjelaskan gambaran umum dari bentuk perkuliahan yang ada di Jepang. Bagaimana dengan suasana perkuliahannya? Kuliah di Jepang ini cocok banget sama tipe mahasiswa yang males ngomong di kelas, karena banyak banget mata kuliah yang terkesan pasif dimana mahasiswa hanya mendengarkan senseinya ngoceh sepanjang 1-2 jam pelajaran. Saya suka? umm... Saya lebih prefer kalau kelasnya semi-aktif, 50% sesi dimana senseinya bercerita dan ada sesi dimana mahasiswa bisa saling berdiskusi. Saya mungkin lebih suka dengan suasana kelas yang seperti itu, lebih berasa "kuliahnya" ketimbang duduk manis doang di dalam kelas. Di dalam kelasnya jadi nggak jarang mahasiswa yang membuka laptop dan sibuk dengan kerjaannya sendiri, bisa jadi risetnya lagi padat-padatnya atau emang kelasnya bikin bosen? Well, i am not sure. Saya nggak tau ada pengaruhnya atau tidak dengan kondisi ini, nggak jarang juga mahasiswa ketiduran di kelas dan senseinya nggak pernah bakalan ada yang ngasih peringatan atau membangunkan. Saya sih masih beranggapan kalau ini merupakan bentuk tidak menghargai ke guru, tapi mungkin orang Jepang melihat dalam sudut pandang yang berbeda; ketiduran di kelas itu pertanda bahwa hari sebelumnya orang ini sudah berusaha keras, entah belum pulang ke apato atau belum tidur sama sekali. Beginilah perbedaan budaya ya, ada nilai-nilai yang tidak kita ketahui ternyata, bukan tentang budaya siapa yang lebih baik/buruk.

Penelitian
Perkuliahan di dalam kelas ini bisa dibilang hanya bentuk basic knowledge share saja dari sensei ke mahasiswanya. Tugas-tugas kuliahnya juga relatif lebih mudah, tapi bukan berarti saya bisa tidur lebih awal karena tugas-tugasnya mudah lho... Bahkan nggak ada ujian akhir sama sekali. Kebanyakan penilaian cuma berdasarkan kehadiran dan weekly report saja. Makin minat nggak nih kuliah di Jepang?

Tunggu dulu...

Kuliah master di Jepang itu nggak hanya ambil credit, hadir di kelas-kelas, ngumpul tugas dan lulus.  Di Jepang setiap mahasiswa akan mulai ngelab dari awal pertama kali diterima secara resmi di kampus. Saya bisa katakan bahwa beban perkuliahan di kelas-kelas itu tidak ada apa-apanya dibandingkan dengan penelitian di lab. Setiap minggu saya diharuskan memberikan laporan penelitian kepada sensei untuk menunjukkan progress yang saya buat. Jadi benar-benar harus bikin progress penelitian sebaik-baiknya, karena akan terasa sekali kalau tidak bisa menyampaikan apa-apa pada saat progress meeting. Saya beruntung karena saya sudah satu tahun sebagai research student dan tinggal melanjutkan riset yang akan saya kerjakan selama master. Di jurusan saya, kelas seminar memberikan kesempatan untuk semua mahasiswa secara bergantian mempresentasikan penelitiannya kepada mahasiswa lain, dan ini sepertinya satu-satunya kelas dimana ada interaksi tanya-jawab langsung antar mahasiswa. Dan, jika sudah mencapai tahapan tertentu, sensei juga akan meminta mahasiswanya untuk menuliskan hasil penelitian tersebut dalam bentuk tulisan ilmiah yang sudah siap untuk disubmit ke conference, workshop atau journal. Hingga tahun pertama saya hanya baru satu kali submit paper ke sebuah conference di Jepang, moga-moga bisa lebih banyak lagi kesempatan untuk submit dan mempresentasikan hasil penelitian saya di pertemuan ilmiah lainnya.